Misi Kemanusiaan dari Alor ke Palu
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga melakukan misi kemanusiaan hingga pulau terpencil (dok/RST Airlangga) |
Jenis tindakan operasi yang dilakukan meliputi operasi katarak,
hernia, teroid, amandel, persalinan cesar, bibir sumbing, tumor jinak,
sampai bedah tulang.
“Tetapi dari sekian banyak operasi yang mendominasi adalah katarak.
Mungkin karena mereka tinggal kawasan pantai sehingga sering terpapar
sinar ultraviolet yang bisa berdampak munculnya katarak,” kata dr. Agus
Harianto, SpB, direktur RSTKA.
Sementara
dokter yang terlibat dalam misi kali ini meliputi dokter umum,
kendungan, anak, orthopedi, bedah, anestesi, bedah plastik, penyakit
dalam, saraf, THT, internist, perawat serta penyuluh dari fakultas
kesehatan masyarakat.
Agus Harianto menjelaskan sebenarnya misi ke kemanusiaan ini mengalami perubahan mendadak. Setelah dari Alor
seharusnya dilanjutkan ke Pulau Lirang, Wetar, Kisar, Leti, Moa, Lakor,
Luang Barat, Luang Timur, Sermata, Masela, Babar, Tepa, Banda, Ambon,
dan berakhir di Wakatobi pada 2 Nopember baru kemudian kembali Surabaya.
Tetapi rencana perjalanan itu mendadak berubah ketika selesai dari
Alor dan hendak menuju ke kawasan pulau-pulau terluar tersebut tiba-tiba
bencana gempa dan tsunami datang melanda Palu dan Donggala. Karena dua
lokasi bencana tersebut dianggap perlu mendapat pelayanan kesehatan
mendesak maka akhirnya RSTKA putar haluan diarahkan ke lokasi bencana.
“Nanti dua minggu setelah kegiatan pelayanan di Donggala dan Palu
selesai, RSTKA akan kembali berlayar lagi menuju kawasan pulau terluar
untuk memberi pelayanan yang sempat tertunda,” kata Agus.
Yayasan Baitul Mal PLN
Sementara Herry Hasanuddin, Ketua III Yayasan Baitul Mal PLN yang menjadi salah satu donatur yang membiayai operasional RSTKA menjelaskan bahwa salah satu pertimbangan YBM PLN menyalurkan dana kepada RSTKA, karena RSTKA dianggap bisa melayani kebutuhan akan pelayanan kesehatan pada masyarakat di pulau terpencil khususnya di kawasan Indonesia timur yang selama ini belum tersentuh pelayanan kesehatan yang memadai.
Dan pelayanan itu tidak sekedar pelayanan kesehatan biasa tetapi yang
penanganannya dilakukan oleh dokter spesialis termasuk dengan bagi
pasien yang memerlukan tindakan operasi yang tidak memungkinkan
dilakukan oleh dokter umum.
“Itu menjadi poin penting ketika kami memutuskan menyalurkan
sumbangan yang berasal dari donasi karyawan PLN kepada RSTKA,” imbuh
Herry.
Bagi masyarakat di kepulauan terpencil yang
menderita sakit yang memerlukan penaganan dokter spesialis apalagi harus
dilakukan tindakan operasi selama ini mengalami kesulitan.
Bukan hanya faktor biaya saja yang sangat besar tetapi keberadaan mereka yang jauh terpencil menjadi masalah sendiri.
Salah satu contoh sederhana saja, bagi masyarakat terpencil yang
menderita sakit katarak pasti kesulitan untuk mencari kesembuhan sebab
dimana daerah mereka bertempat tinggal tidak ada dokter mata apalagi
perlengkapan operasinya. Akibatnya karena tidak ditangani lama kelamaan
ujungnya akan mengalami kebutaan.
“Itu
baru soal katarak padahal kan masih sederet lagi jenis sakit yang
memerlukan tindakan operasi, mulai hernia, tumor dan sebagainya,” papar
Herry.
Sementara RSTKA bisa menjawab tantangan itu. Mulai kapalnya sendiri
yang memiliki ruang operasi layaknya standar ruang operasi di rumah
sakit pada umumnya serta setiap misi berjalan di dalamnya didukung oleh
tenaga dokter spesialis. Sehingga ketika RSTKA menjalankan misi di suatu
pulau maka persoalan kesehatan masyarakat setempat relatif
terselesaikan.
“Sistem jemput bola itu dianggap sangat efektif. Bukan pasien yang
mendatangi rumah sakit tetapi sebaliknya rumah sakit beserta tim dokter
yang mendatangi lokasi pasien,” papar Herry.
Herry melihat sendiri ketika RSTKA melakukan misi pelayanan ke Pulau
Sapeken, Madura, beberapa bulan lalu. Saat itu ribuan pasien termasuk
ratusan diantaranya dilakukan tindakan operasi dari berbagai jenis sakit
tertangani dengan baik.
Jumlah pasien begitu banyak karena pasien bukan hanya berasal dari
Pulau Sapeken saja tetapi warga yang berada di pulau sekitarnya datang
ke sana.
Yang membuat Herry kagum untuk menuju pulau tersebut sekitar 90-an
tenaga medis dan paramedis yang datang dari Surabaya itu harus naik
perahu dengan ombak yang cukup tinggi.
“Jadi tidak sekedar modal kemampuan serta fasilitas RSTKA saja tetapi
kesungguhan para dokter bela-belain mau datang menangani pasien dengan
menerjang kondisi alam yang cukup berat menuju lokasi pelayanan itu juga
patut diapresiasi,” cerita Herry.
Herry lebih jauh menjelaskan YBM PLN
memiliki lima pilar program utama yaitu meliputi, sosial kemanusiaan,
kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan dakwah.
Dalam musibah gempa dan tsunami di Palu dan Donggala
ini YBM PLN selain mengalokasikan dana untuk kesehatan juga ada alokasi
untuk sosial kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk berbagi sembako,
makanan siap saji, pakaian, selimut, terpal, kebutuhan anak-anak sebesar
Rp 2 miliar, Rp 1 miliar untuk dana kesehatan yang Rp 500 juta
diantaranya disalurkan melalui RSTKA.
Untuk kasus tertentu seperti yang terjadi di Palu, Donggala maupun
gempa Lombok yang terjadi sebelumnya YBM PLN juga memberi bantuan
lanjutan paska bencana.
“Misalnya
sekitar sebulan atau dua setelah bencana berlalu kami punya tim yang
akan mengunjungi lagi lokasi bencana. Jika ada masyarakat yang
membutuhkan rumah, misalnya maka kita akan bantu membangun tempat
tinggal baru, tapi tentu siapakah yang paling berhak kami punya
kriteria,” imbuh Herry.(pr/ps)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar